Yogyakarta,
Akhir tahun kemarin (31/12/2012) saya dan beberapa teman berlibur ke Daerah
Istimewa Yogyakarta. Kami berangkat dari Kota Solo sekitar Pukul 13.00 WIB dan
sampai di Malioboro sekitar waktu sholat Asar. Tanpa diduga sebelumnya kami
bertemu dengan seorang anak jalanan di dekat titik 0 Km Yogyakarta. Akhirnya
kami mengajak anak tersebut yang ternyata bernama Bagus untuk makan Nasi Kucing di dekat Monumen Serangan
Umum 1 maret. Sambil makan-makan saya mengajak anak tersebut
berbincang-bincang. Perbincangan tersebut antara lain: (sebenarnya bahasa yang
di gunakan banyak menggunakan bahasa jawa)
A
: Jadi kamu tinggal di sini ya Gus ?
B
: Iya mas, aku tinggal di sekitar
malioboro
A : la kamu aslinya dari mana ?
B : aku dari purwokerto mas
A ; la wes pirang tahun neng kene ( sudah
berapa tahun tinggal disini )
B
: 2 Tahun mas ( ucap bocah polos yang kira-kira berumur 10 tahun ini )
A
: la
mbien koe mrene numpak apa, gus ? ( dulu kamu kesini naik apa, gus )
B
: “ numpak kereta mas ( Naik kereta mas )” . sambil meminta rokok pada teman
saya
A
: La kowe kabur dek omah pa ? ( kamu kabur dari rumah ya )
B
: hehehe ( dia hanya tertawa kecil sambil sesekali mengeluarkan asap rokok dari
mulut kecilnya)
A
: kamu gak sekolah ?
B
: nggak , mbien sekolah tekan kelas 3 tok
( dulu pernah sekolah , hanya sampai kelas 3 )
A
: trus orang tuamu dimana ?
B
: “nang ngumah mas” ( di rumah, mas ). Dia menjawab dengan logat
banyumasan yang khas.
Setelah
cukup lama berbincang-bincang, Akhirnya kamipun berinisiatif untuk
membelikannya baju di sekitar Malioboro, namun saat sedang berjalan menuju toko
baju si Bagus tiba-tiba berlari kearah Bank Indonesia dan kami tak berhasil
mengejarnya. Ternyata dari arah berlawanan terlihat Satpol PP yang berjalan
menuju arah kami. Rupanya Bagus takut dengan pasukan polisi yang katanya elit
ini. Haripun menjelang malam dan kami tak menemukan anak jalanan tersebut lagi.
Ini
hanyalah salah satu potret anak jalanan di negeri kita. Dia rela pergi dari
kampung halamannya dan berjuang di kota yang keras . Jauh dari orang Tua, jauh
dari bangku sekolah, dan jauh dari kata layak. Seharusnya pemerintah peduli
dengan nasib anak-anak jalanan dan kaum terlantar lainnya, karena menurut pasal
34 ayat (1) UUD 1945 di sebutkan bahwa “ fakir miskin dan anak-anak terlantar
dipelihara oleh negara “ namun kenyataannya mereka di asingkan oleh negara .