Widget edited by super-bee

Minggu, 30 Maret 2014

ANALISIS KETERJALINAN TEKS DAN KONTEKS


ANALISIS KETERJALINAN TEKS DAN KONTEKS DAN
 INTERTEKSTUALITAS TERHADAP PUISI “SENDIRI” KARYA M. BONIEX NURWEGA DAN PUISI “ALONE” KARYA EDGAR ALLAN POE:
 Sebuah Kajian Sastra Bandingan


Diajukan sebagai tugas mata kuliah Sastra Banding





1.      Dian Sukma Raharja       A310110107

2.      Ima Yustisia Reshi           A310110115

KELAS C



PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013

A.    Puisi Utuh
1.      Puisi Indonesia
SENDIRI
Ku coba tersenyum dalam tidurku
Tak peduli apapun yang terjadi
Karena harapan, asa, semua kan lebih baik
Saat ku terbangun
Adakah tanya telah terjawab?
Adakah tawa telah menjawab?
Sendiri menuju sunyi
Hingga yang tersisa hanya aku dan bahagia
Ku buka mata dia telah tiba
Membawa pesan di kedua tangannya
Mengajak berlari, menyusuri, jauh ke tempat terindah
Dan tak lagi terbangun
Sendiri menuju sunyi
Hingga yang tersisa hanya aku dan bahagia
Tak pernah beranjak, tak pernah beranjak

M. Boniex Nurwega 

2.      Puisi Barat/Lirik Lagu Barat
Alone
From childhood's hour I have not been
As others were; I have not seen
As others saw; I could not bring
My passions from a common spring.

From the same source I have not taken
My sorrow; I could not awaken
My heart to joy at the same tone;
And all I loved, I loved alone.

Then- in my childhood, in the dawn
Of a most stormy life- was drawn
From every depth of good and ill
The mystery which binds me still:

From the torrent, or the fountain,
From the red cliff of the mountain,
From the sun that round me rolled
In its autumn tint of gold
.

From the lightning in the sky
As it passed me flying by,
From the thunder and the storm,
And the cloud that took the form
(When the rest of Heaven was blue)
Of a demon in my view. 
Edgar Allan Poe


ALONE

Dari jam milik masa kanak dimana aku belum ada
Seperti yang lain: aku belum melihat
Seperti yang orang-orang saksikan; aku tak mampu membawa
kehendak hasratku dari musim semi yang datar ini

Dari  ujung hulu yang sama belum juga aku ambil
Kesedihanku; aku sungguh  tidak mampu membangun
hatiku agar bergembira pada  lirih  bunyi yang sama;
Sebab  dari seluruh yang aku cintai, aku begitu mencintai kesendirian

Kemudian dalam  masa kanakku, di sebuah fajar
Lewat  hidup yang maha membadai— sudah tergambar
Setiap dasar kedalaman dari yang sehat dan yang sakit
Rahasia dimana terus menerus aku terjepit.

Dari seluruh aliran air yang mengucur ataupun yang memancur
Dari jurang-jurang diantara rongga pegunungan
Dari matahari yang rutin mengitari aku  untuk menggulirkan  
aroma cahaya  musim gugurnya yang kekuningan

Dari  kilatan-kilatan di langit
Yang seolah mengajak aku terbang
Dari lenguh guruh maupun  pangkal badai
Dari payung  mendung yang kepadaku nyaris sampai
(ketika surga jadi teramat biru)
Iblis  bermukim di sekujur  pandanganku.
Edgar Allan Poe

B.     Pembahasan
        Keterjalinan teks dan konteks sastra dalam suatu karya sastra tidak dapat dihindarkan. Dengan adanya komunikasi yang serba canggih, peristiwa teks yang satu dapat membonceng teks yang lain hampir selalu ada di mana-mana. Dalam pembahasan ini teks dan konteks yang akan dianalisis adalah karya sastra puisi “alone” karya  Edgar Allan Poe dan puisi “sendiri” karya M. Boniex Nurwega , di mana pada perbandingannya kedua karya sastra itu memiliki persamaan yakni penggunaan bentuk akulirik pada analisis secara struktural yang sebelumnya telah dibahas.
1.      Keterjalinan teks dan konteks terhadap bahasa puisi
Berdasarkan puisi yang dianalisis secara struktural, puisi “alone” karya  Edgar Allan Poe dan puisi “sendiri” karya M. Boniex Nurwega, kajian yang kedua yakni melihat keterjalinan teks dan konteks berdasarkan bahasa, bentuk, dan isi puisi.
Puisi “alone” karya  Edgar Allan Poe dan puisi “sendiri” karya M. Boniex Nurwega dikaji berdasarkan konteks atau suasana yang dialami oleh kedua pengarang ditinjau dari segi bahasa.. Hal yang sangat mempengaruhi pemilihan diksi yang dilakukan oleh pengarang adalah latar belakang kehidupan pengarang, suasana yang bergajolak di hati pengarang serta pengaruh lingkungan. Misalkan puisi “alone” karya  Edgar Allan Poe, diksi yang dipilih sesuai dengan tema yang diangkat,  dan kata yang dipilih beragam sehingga membuat puisi Nampak indah dan mudah dipahami. hal itu tidak hanya terdapat pada puisi “sendiri” karya M. Boniex Nurwega yang sudah cukup baik, meskipun pemilihan katanya kurang beragam tetapi puisi tersebut mampu di pahami oleh pembaca. puisi karya M. Boniex Nurwega banyak yang sudah dijadikan lagu dan pemilihan kata yang dipakai tidak jauh dengan puisi “sendiri” ini seperti “pulang” , “permainan menunggu” hingga “lentera”.
.

Ditinjau dari segi bentuk, puisi” sendiri” karya M. Boniex Nurwega dengan Puisi “alone” karya  Edgar Allan Poe tersebut sama-sama memiliki ciri khas masing-masing.
.
                        Dari segi bentuk, puisi sendiri” karya M. Boniex Nurwega terdiri dari lima belas baris dan enam bait. Berbeda dengan puisi“alone” karya  Edgar Allan Poe isi  yang terdiri dari duapuluh baris lima bait. Nilai bunyi yang diungkapkan oleh puisi sendiri” karya M. Boniex Nurwega cenderung mengungkap tentang kesedihan dan harapan. Hal itu dapat diliha pada bait
Ku coba tersenyum dalam tidurku
Tak peduli apapun yang terjadi
Karena harapan, asa, semua kan lebih baik
Saat ku terbangun


Keterjalinan teks dan konteks terhadap puisi “alone” karya  Edgar Allan Poe dan puisi sendiri” karya M. Boniex Nurwega dikaji berdasarkan isi. Dalam puisi karya M. Boniex Nurwegia seperti yang telah diulas sebelumnya, emosi dan kesedihan yang dikuak memang dapat menyihir minat para pembaca.
2.      Intertekstualitas alone” karya  Edgar Allan Poe dan puisi sendiri” karya M. Boniex Nurwega.
Kajian intertekstualitas dimaksudkan sebagai kajian terhadap sejumlah teks (sastra), yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan unsur-unsur intrinsic seperti ide, gagasan, peristiwa, plot, penokohan, (gaya) bahasa, dan lainnya, di antara teks yang dikaji.
Secara khusus dapat dikatakan bahwa kajian interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada karya-karya sebelumnya pada karya yang  muncul lebih kemudian. Tujuan kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan  makna  secara  lebih  penuh  terhadap karya tersebut. Penulisan dan atau pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannya sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan itu (Teeuw, 1983: 62-5).
Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks lain. Lebih dari itu, teks itu sendiri secara etimologis (textus, bahasa Latin) berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam interteks, yaitu melalui proses oposisi, permutasi, dan transformasi. Penelitian dilakukan dengan cara menemukan hubungan-hubungan bermakna di antara dua teks atau lebih. Teks-teks yang dikerangkakan sebagai interteks tidak terbatas sebagai persamaan genre, interteks memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk menemukan hipogram. Hubungan yang dimaksud tidak semata-mata sebagai persamaan, melainkan juga sebaliknya sebagai pertentangan, baik nsebagai parody maupun negasi (Ratna, 2004: 172-173).
Masalah ada tidaknya hubungan antarteks ada kaitannya dengan niatan pengarang  dan tafsiran pembaca. Dalam kaitan ini Luxemburg dkk (1989:10) mengartikan  intertekstualitas sebagai: kita menulis dan membaca dalam suatu interteks suatu  tradisi budaya, sosial, dan sastra yang tertuang dalam teks-teks. Setiap teks sebagian bertumpu pada konvensi sastra dan bahasa dan dipengaruhi oleh teks-teks sebelumnya.
Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya tulis, ia tidak  mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan  tradisi di masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesastraan yang ditulis sebelumya.
Karya sastra yang ditulis lebih kemudian, biasanya mendasarkan diri pada karya-karya lain yang telah ada sebelumnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, baik dengan cara meneruskan maupun menyimpang (menolak, memutarbalikkan esensi) konvensi.  Riffaterre mengatakan  bahwa  karya  sastra selalu merupakan tantangan, tantangan yang terkandung dalam perkembangan sastra sebelumnya, yang secara  konkret mungkin berupa sebuah atau sejumlah karya. Hal  itu, sekali lagi, menunjukkan keterikatan suatu karya dari karya-karya lain yang melatar belakanginya.
Karya sastra yang dijadikan dasar penulisan bagi karya yang kemudian disebut  sebagai hipogram. Istilah hipogram, barangkali dapat diindonesiakan menjadi  latar, yaitu dasar, walau mungkin tak tampak secara eksplisit, bagi penulisan karya yang lain wujud hipogram mungkin berupa penerusan konvensi, sesuatu  yang telah bereksistensi, penyimpangan dan pemberontakan konvensi, pemutarbalikan esensi dan amanat teks sebelumnya (Teeuw, 1983:65). Dalam istilah lain, penerusan tradisi dapat juga disebut sebagai mitos pengukuhan, sedangkan  penolakan  tradisi  sebagai  mitos  pemberontakan. Kedua hal  tersebut boleh dikatakan sebagai sesuatu yang wajib hadir dalam penulisan teks kesastraan,  sesuai dengan hakikat kesastraan itu yang selalu berada dalam ketegangan  antara  konvensi dan invensi, mitos pengukuhan dan mitos pemberontakan.
Sebuah teks kesastraan yang dihasilkan dengan kerja yang demikian dapat dipandang sebagai karya  yang baru. Pengarang dengan kekuatan imajinasi, wawasan estetika, dan horison harapannya sendiri, telah mengolah dan mentransformasikan karya-karya lain ke dalam karya sendiri. Namun, unsur-unsur tertentu dari karya-karya lain tersebut, yang mungkin berupa konvensi, bentuk formal tertentu,  gagasan, tentulah masih dapat dikenali (Pradopo,  1987:  228).
Usaha pengidentifikasian hal-hal itu dapat dilakukan dengan memperbandingkan antara teks-teks tersebut. Dalam penulisan teks  kesastraan,  orang membutuhkan  konvensi, aturan, namun hal itu  sekaligus akan disimpanginya. Levin bahkan mengatakan bahwa pengakuan konvensi dalam sejarah bertepatan dengan  penolakannya. Penulisan sebuah teks kesastraan tidak mungkin  tunduk seratus  persen  pada  konvensi.
Pengarang  yang  notabene  memiliki daya kreativitas tinggi menciptakan yang baru, yang asli. Namun, pembaharuan yang  ekstrem dengan menolak semua konvensi akan berakibat karya  yang dihasilkankurang dapat dipahami dan tidak komunikatif. Penyimpangan memang perlu dilakukan namun ia tentunya masih dalam batas-batas  tertentu, masih ada unsur konvensi di dalamnya, sehingga masih ada celah yang dapat dimanfaatkan pembaca yang memang telah berada dalam konvensi dan tradisi tertentu.
Prinsip intertekstualitas yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan  makna karya yang bersangkutan. Karya itu diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dari karya yang lain. masalah intertekstual lebih  dari sekedar pengaruh, ambilan, atau jiplakan, melainkan bagaimana  kita memperoleh makna  sebuah  karya  secara  penuh  dalam  kontrasnya  dengan  karya yang lain yang menjadi hipogramnya, baik berupa teks fiksi maupun puisi.
Didalam puisi “sendiri” dan puisi “alone” memiliki bentuk-bentuk dan hubungan yang sama. Misalnya pemilihan tema, isi, dan gagasan.. Penulisan dan atau pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannya sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan itu dan isi dalam karya-karyanya lebih lengkap dan maknanya lebih menonjol sehingga memunculkan daya tarik pembaca.


C.    Biografi Pengarang

1.      Biografi Edgar Allan Poe
Edgar Allan Poe (lahir di Boston, MassachusettsAmerika Serikat19 Januari 1809 – meninggal di Baltimore, MarylandAmerika Serikat7 Oktober 1849 pada umur 40 tahun) adalah penyaircerpenis, editor, kritikus, dan salah satu pemimpin Gerakan RomantikAmerika. Dikenal karena karya-karya macabre-nya, Poe merupakan salah satu praktisi awal penulisan cerita pendek di Amerika dan perintis karya fiksi detektif dan kriminal. Ia juga mendapat pengakuan atas kontribusinya pada genre cerita fiksi ilmiah. Poe meninggal pada usia 40 tahun karena sebab-sebab yang kurang jelas, terutama diduga karena alkohol, obat bius, kolera, rabies, dan hal-hal lain.
Beliau dilahirkan dengan nama Edgar Poe di Boston, Massachusets; beliau menjadi yatim piatu segera setelah ibunya meninggal dalam usia muda setelah ayahnya meninggalkan mereka. Poe kemudian diambil oleh John dan Frances Allan di Richmond, Virginia, tapi mereka tidak pernah secara resmi mengadopsinya. Dia terdaftar sebagai mahasiswa di Universitas Virginia selama satu semester dan tidak melanjutkan karena masalah biaya. Sesudah mendaftar dalam angkatan darat dan gagal sebagai perwira kadet, Poe meninggalkan keluarga Allan. Awal karirnya dimulai dengan sederhana, dengan koleksi cerpen anonim, Tamerlane and Other Poems (1827), disebut hanya dengan 'seorang Boston'.


2.      Biografi Boniex Noerwega
M.Boniex Norwega adalah seorang vokalis dari band For Revenge. Band ini mengusung genre post-hardcore/ Emo.  Dia juga seorang jurnalis,.Teknik vocalnya yang sudah dikenal sejak kecil. Dia sering memenangi kejuaraan vokal di tempat tinggalnya.
Teknik vocal yang semakin matang ini ditemukan oleh Abie yang diam-diam mengagumi Boniex. Entah bagaimana senangnya Abie saat Boniex setuju untuk bergabung dengan For Revenge. Kepiawaian Boniex dalam membuat puisi dan akhirnya di jadikan lagu ini sudah tidak diragukan lagi. Dia saat ini sedang studi di salah satu perguruan tinggi terkemuka di Bandung. UNPAD, Jurusan Jurnalistik Fikom.
Sekarang, Boniex telah menjelma menjadi seorang front man yang tak tergantikan di For Revenge.Awal mula terbentuk band ini adalah pada bulan April 2006 dengan mengusung genre post hardcore/modern rock/Emo sejak pertama terbentuk sampai dengan sekarang telah silih berganti personil. Nama FOR REVENGE kala itu bermakna akan pelampiasan amarah atas setiap masalah yg terjadi di tiap kehidupan masing-masing personil, sehingga sampai sekarang pun telah menjadikan banyak inspirasi dari lagu-lagu mereka. FOR REVENGE juga sempat di riview beberapa Stasiun TV Lokal Bandung di antaranya PJTV dalam acara LOKAL LEBEL, dan juga STV dalam acara Ziggy Wiggy, dan interview dengan koran Pikiran Rakyat.
FOR REVENGE telah lama malang melintang di kancah panggung PENSI dan GIGS music indie sekitar Bandung, Panggung Jakarta, Bogor, Serang, Pandegelang, Jogjakarta, dan Surabaya juga pernah dijajaki mereka dalam acara STONED COLLEGE TOUR yg diadakan oleh radio streaming swasta Jakarta bersama LAST CHILD, THE TREES AND THE WILD, dan HIDDEN MESSAGE. Band yang mengusung genre post hardcore/emo bernama For Revenge ini, mengajari kita bahwa mengapresiasi negara sendiri dapat dimulai dari hal yang kecil.


D.    Kesimpulan
Dalam pembahasan ini teks dan konteks yang akan dianalisis adalah karya sastra puisi “alone” karya  Edgar Allan Poe dan puisi “sendiri” karya M. Boniex Nurwega , di mana pada perbandingannya kedua karya sastra itu memiliki persamaan yakni penggunaan bentuk akulirik pada analisis secara struktural yang sebelumnya telah dibahas. Di dalam kedua puisi tersebut mempunyai bentuk kesamaan yang saliung brerhubungan. Misalnya, tema yang sama,isi, dan maknanya pun juga sama.
Produksi makna terjadi dalam interteks, yaitu melalui proses oposisi, permutasi, dan transformasi. Penelitian dilakukan dengan cara menemukan hubungan-hubungan bermakna di antara dua teks atau lebih, sehingag dapat membandingkan makna dari dua teks tersebut. Prinsip intertekstualitas yang utama adalah prinsip memahami dan memberikan  makna karya yang bersangkutan, jadi pengarang pun harus dapat memahami isi dan maknakarya-karyanya.


DAFTAR PUSTAKA
Guntur, Tarigan Henry, 1985. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: PN.Angkasa
Jalil, Danie Abdul.1985. Teori dan Periodesasi Puisi Indonesia. Bandung: PN. Angkasa
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Bandung Pustaka Jaya

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar