ANALISIS KETERJALINAN TEKS DAN
KONTEKS DAN
INTERTEKSTUALITAS TERHADAP PUISI “SENDIRI”
KARYA M. BONIEX
NURWEGA DAN PUISI “ALONE” KARYA EDGAR ALLAN POE:
Sebuah Kajian Sastra Bandingan
Diajukan
sebagai tugas mata kuliah Sastra Banding
1. Dian
Sukma Raharja A310110107
2.
Ima Yustisia Reshi A310110115
KELAS
C
PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DAN DAERAH
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
A. Puisi Utuh
1. Puisi Indonesia
SENDIRI
Ku coba tersenyum dalam tidurku
Tak peduli apapun yang terjadi
Karena harapan, asa, semua kan lebih baik
Saat ku terbangun
Adakah tanya telah terjawab?
Adakah tawa telah menjawab?
Sendiri menuju sunyi
Hingga yang tersisa hanya aku dan bahagia
Ku buka mata dia telah tiba
Membawa pesan di kedua tangannya
Mengajak berlari, menyusuri, jauh ke tempat terindah
Dan tak lagi terbangun
Sendiri menuju sunyi
Hingga yang tersisa hanya aku dan bahagia
Tak pernah beranjak, tak pernah
beranjak
M. Boniex Nurwega
2. Puisi Barat/Lirik Lagu Barat
Alone
From childhood's hour I have not
been
As others were; I have not seen
As others saw; I could not bring
My passions from a common spring.
From the same source I have not taken
My sorrow; I could not awaken
My heart to joy at the same tone;
And all I loved, I loved alone.
Then- in my childhood, in the dawn
Of a most stormy life- was drawn
From every depth of good and ill
The mystery which binds me still:
From the torrent, or the fountain,
From the red cliff of the mountain,
From the sun that round me rolled
In its autumn tint of gold.
From the lightning in the sky
As it passed me flying by,
From the thunder and the storm,
And the cloud that took the form
(When the rest of Heaven was blue)
Of a demon in my view.
Edgar Allan Poe
ALONE
Dari jam milik masa kanak dimana
aku belum ada
Seperti yang lain: aku belum
melihat
Seperti yang orang-orang saksikan;
aku tak mampu membawa
kehendak hasratku dari musim semi
yang datar ini
Dari ujung hulu yang sama
belum juga aku ambil
Kesedihanku; aku sungguh
tidak mampu membangun
hatiku agar bergembira pada
lirih bunyi yang sama;
Sebab dari seluruh yang aku
cintai, aku begitu mencintai kesendirian
Kemudian dalam masa kanakku,
di sebuah fajar
Lewat hidup yang maha
membadai— sudah tergambar
Setiap dasar kedalaman dari yang
sehat dan yang sakit
Rahasia dimana terus menerus aku
terjepit.
Dari seluruh aliran air yang
mengucur ataupun yang memancur
Dari jurang-jurang diantara rongga
pegunungan
Dari matahari yang rutin mengitari
aku untuk menggulirkan
aroma cahaya musim gugurnya
yang kekuningan
Dari kilatan-kilatan di
langit
Yang seolah mengajak aku terbang
Dari lenguh guruh maupun
pangkal badai
Dari payung mendung yang
kepadaku nyaris sampai
(ketika surga jadi teramat biru)
Iblis bermukim di sekujur
pandanganku.
Edgar Allan Poe
B.
Pembahasan
Keterjalinan teks dan konteks sastra
dalam suatu karya sastra tidak dapat dihindarkan. Dengan adanya komunikasi yang
serba canggih, peristiwa teks yang satu dapat membonceng teks yang lain hampir
selalu ada di mana-mana. Dalam pembahasan ini teks dan konteks yang akan
dianalisis adalah karya sastra puisi “alone” karya
Edgar Allan Poe dan puisi “sendiri” karya M. Boniex Nurwega , di mana pada perbandingannya kedua karya sastra
itu memiliki persamaan yakni penggunaan bentuk akulirik pada analisis secara
struktural yang sebelumnya
telah dibahas.
1.
Keterjalinan
teks dan konteks terhadap bahasa puisi
Berdasarkan puisi yang dianalisis
secara struktural, puisi “alone” karya
Edgar Allan Poe dan puisi “sendiri” karya M. Boniex Nurwega, kajian yang
kedua yakni melihat keterjalinan teks dan konteks berdasarkan bahasa, bentuk,
dan isi puisi.
Puisi
“alone” karya Edgar
Allan Poe
dan puisi “sendiri” karya M.
Boniex Nurwega dikaji berdasarkan
konteks atau suasana yang dialami oleh kedua pengarang ditinjau dari segi
bahasa.. Hal yang sangat mempengaruhi pemilihan diksi yang dilakukan oleh
pengarang adalah latar belakang kehidupan pengarang, suasana yang bergajolak di
hati pengarang serta pengaruh lingkungan. Misalkan puisi
“alone” karya Edgar
Allan Poe, diksi
yang dipilih sesuai dengan tema yang diangkat, dan kata yang dipilih beragam sehingga
membuat puisi Nampak indah dan mudah dipahami. hal itu tidak hanya terdapat pada puisi “sendiri”
karya M. Boniex
Nurwega yang sudah cukup baik, meskipun pemilihan
katanya kurang beragam tetapi puisi tersebut mampu di pahami oleh pembaca.
puisi karya M.
Boniex Nurwega banyak yang sudah dijadikan lagu dan pemilihan kata yang dipakai
tidak jauh dengan puisi “sendiri” ini seperti “pulang” , “permainan menunggu”
hingga “lentera”.
.
Ditinjau dari segi bentuk, puisi”
sendiri” karya M.
Boniex Nurwega dengan Puisi “alone” karya
Edgar Allan Poe tersebut sama-sama memiliki ciri
khas masing-masing.
.
Dari
segi bentuk, puisi sendiri” karya M. Boniex Nurwega terdiri dari lima
belas baris dan enam bait. Berbeda dengan puisi“alone”
karya Edgar Allan Poe isi yang terdiri dari duapuluh
baris lima bait. Nilai bunyi yang
diungkapkan oleh puisi sendiri” karya M. Boniex Nurwega
cenderung mengungkap tentang kesedihan dan harapan. Hal itu dapat diliha pada bait
Ku coba tersenyum dalam tidurku
Tak peduli apapun yang terjadi
Karena harapan, asa, semua kan lebih baik
Saat ku terbangun
Keterjalinan teks dan konteks
terhadap puisi “alone” karya Edgar
Allan Poe dan puisi “sendiri”
karya M. Boniex
Nurwega dikaji
berdasarkan isi. Dalam puisi
karya M. Boniex Nurwegia seperti yang telah diulas
sebelumnya, emosi dan kesedihan
yang dikuak memang dapat menyihir minat para pembaca.
2. Intertekstualitas “alone” karya Edgar Allan Poe dan puisi “sendiri” karya M. Boniex Nurwega.
Kajian intertekstualitas dimaksudkan sebagai
kajian terhadap sejumlah teks (sastra), yang diduga mempunyai
bentuk-bentuk hubungan tertentu, misalnya untuk menemukan adanya hubungan
unsur-unsur intrinsic seperti ide, gagasan, peristiwa, plot,
penokohan, (gaya) bahasa, dan lainnya, di antara teks yang dikaji.
Secara khusus dapat dikatakan bahwa kajian
interteks berusaha menemukan aspek-aspek tertentu yang telah ada pada
karya-karya sebelumnya pada karya yang muncul lebih kemudian. Tujuan
kajian interteks itu sendiri adalah untuk memberikan makna
secara lebih penuh terhadap karya tersebut. Penulisan
dan atau pemunculan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur
kesejarahannya sehingga pemberian makna itu akan lebih lengkap jika dikaitkan
dengan unsur kesejarahan itu (Teeuw, 1983: 62-5).
Secara luas interteks diartikan sebagai
jaringan hubungan antara satu teks dengan teks lain. Lebih dari itu, teks itu
sendiri secara etimologis (textus, bahasa Latin) berarti tenunan, anyaman,
penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam interteks,
yaitu melalui proses oposisi, permutasi, dan transformasi. Penelitian dilakukan
dengan cara menemukan hubungan-hubungan bermakna di antara dua teks atau lebih.
Teks-teks yang dikerangkakan sebagai interteks tidak terbatas sebagai persamaan
genre, interteks memberikan kemungkinan yang seluas-luasnya bagi peneliti untuk
menemukan hipogram. Hubungan yang dimaksud tidak semata-mata sebagai persamaan,
melainkan juga sebaliknya sebagai pertentangan, baik nsebagai parody maupun
negasi (Ratna, 2004: 172-173).
Masalah ada tidaknya hubungan antarteks ada
kaitannya dengan niatan pengarang dan tafsiran pembaca. Dalam
kaitan ini Luxemburg dkk (1989:10) mengartikan
intertekstualitas sebagai: kita menulis dan membaca dalam suatu interteks
suatu tradisi budaya, sosial, dan sastra yang tertuang dalam teks-teks.
Setiap teks sebagian bertumpu pada konvensi sastra dan bahasa dan dipengaruhi
oleh teks-teks sebelumnya.
Kajian intertekstual berangkat dari asumsi
bahwa kapan pun karya tulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi
kekosongan budaya. Unsur budaya, termasuk semua konvensi dan tradisi di
masyarakat, dalam wujudnya yang khusus berupa teks-teks kesastraan yang ditulis
sebelumya.
Karya sastra yang ditulis lebih kemudian,
biasanya mendasarkan diri pada karya-karya lain yang telah ada sebelumnya, baik
secara langsung maupun tidak langsung, baik dengan cara meneruskan maupun
menyimpang (menolak, memutarbalikkan esensi) konvensi. Riffaterre mengatakan
bahwa karya sastra selalu merupakan tantangan, tantangan yang
terkandung dalam perkembangan sastra sebelumnya, yang secara konkret
mungkin berupa sebuah atau sejumlah karya. Hal itu, sekali lagi,
menunjukkan keterikatan suatu karya dari karya-karya lain yang melatar
belakanginya.
Karya sastra yang dijadikan dasar penulisan
bagi karya yang kemudian disebut sebagai hipogram. Istilah hipogram,
barangkali dapat diindonesiakan menjadi latar, yaitu dasar, walau mungkin
tak tampak secara eksplisit, bagi penulisan karya yang lain wujud hipogram
mungkin berupa penerusan konvensi, sesuatu yang telah bereksistensi,
penyimpangan dan pemberontakan konvensi, pemutarbalikan esensi dan amanat teks
sebelumnya (Teeuw, 1983:65). Dalam istilah lain, penerusan tradisi dapat juga
disebut sebagai mitos pengukuhan, sedangkan penolakan tradisi
sebagai mitos pemberontakan. Kedua hal tersebut boleh
dikatakan sebagai sesuatu yang wajib hadir dalam penulisan teks
kesastraan, sesuai dengan hakikat kesastraan itu yang selalu berada dalam
ketegangan antara konvensi dan invensi, mitos pengukuhan dan mitos
pemberontakan.
Sebuah teks kesastraan yang dihasilkan dengan
kerja yang demikian dapat dipandang sebagai karya yang baru. Pengarang
dengan kekuatan imajinasi, wawasan estetika, dan horison harapannya sendiri,
telah mengolah dan mentransformasikan karya-karya lain ke dalam karya sendiri.
Namun, unsur-unsur tertentu dari karya-karya lain tersebut, yang mungkin berupa
konvensi, bentuk formal tertentu, gagasan, tentulah masih dapat dikenali
(Pradopo, 1987: 228).
Usaha pengidentifikasian hal-hal itu dapat
dilakukan dengan memperbandingkan antara teks-teks tersebut. Dalam penulisan
teks kesastraan, orang membutuhkan konvensi, aturan, namun
hal itu sekaligus akan disimpanginya. Levin bahkan mengatakan bahwa
pengakuan konvensi dalam sejarah bertepatan dengan penolakannya.
Penulisan sebuah teks kesastraan tidak mungkin tunduk seratus
persen pada konvensi.
Pengarang yang notabene
memiliki daya kreativitas tinggi menciptakan yang baru, yang asli. Namun,
pembaharuan yang ekstrem dengan menolak semua konvensi akan berakibat
karya yang dihasilkankurang dapat dipahami dan tidak komunikatif.
Penyimpangan memang perlu dilakukan namun ia tentunya masih dalam batas-batas
tertentu, masih ada unsur konvensi di dalamnya, sehingga masih ada celah yang
dapat dimanfaatkan pembaca yang memang telah berada dalam konvensi dan tradisi
tertentu.
Prinsip intertekstualitas yang utama adalah
prinsip memahami dan memberikan makna karya yang bersangkutan. Karya itu
diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dari karya yang
lain. masalah intertekstual lebih dari sekedar pengaruh, ambilan, atau
jiplakan, melainkan bagaimana kita memperoleh makna sebuah
karya secara penuh dalam kontrasnya dengan
karya yang lain yang menjadi hipogramnya, baik berupa teks fiksi maupun puisi.
Didalam
puisi “sendiri” dan puisi “alone” memiliki bentuk-bentuk dan hubungan yang
sama. Misalnya pemilihan tema, isi, dan gagasan.. Penulisan dan atau pemunculan sebuah karya sering ada
kaitannya dengan unsur kesejarahannya sehingga pemberian makna itu akan lebih
lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan itu dan isi dalam
karya-karyanya lebih lengkap dan maknanya lebih menonjol sehingga memunculkan daya tarik pembaca.
C.
Biografi Pengarang
1. Biografi Edgar Allan Poe
Edgar Allan Poe (lahir di Boston, Massachusetts, Amerika Serikat, 19 Januari 1809 – meninggal di Baltimore, Maryland, Amerika Serikat, 7 Oktober 1849 pada umur 40 tahun) adalah penyair, cerpenis, editor, kritikus, dan salah satu pemimpin Gerakan RomantikAmerika.
Dikenal karena karya-karya macabre-nya, Poe merupakan salah satu praktisi
awal penulisan cerita pendek di Amerika dan perintis karya fiksi detektif dan
kriminal. Ia juga mendapat pengakuan atas kontribusinya pada genre cerita fiksi ilmiah. Poe meninggal pada usia 40 tahun karena
sebab-sebab yang kurang jelas, terutama diduga karena alkohol, obat bius,
kolera, rabies, dan hal-hal lain.
Beliau dilahirkan dengan nama Edgar Poe
di Boston, Massachusets; beliau menjadi yatim piatu segera setelah ibunya
meninggal dalam usia muda setelah ayahnya meninggalkan mereka. Poe kemudian
diambil oleh John dan Frances Allan di Richmond, Virginia, tapi
mereka tidak pernah secara resmi mengadopsinya. Dia terdaftar sebagai mahasiswa
di Universitas Virginia selama satu semester dan tidak melanjutkan karena
masalah biaya. Sesudah mendaftar dalam angkatan darat dan gagal sebagai perwira
kadet, Poe meninggalkan keluarga Allan. Awal karirnya dimulai dengan sederhana,
dengan koleksi cerpen anonim, Tamerlane and Other Poems (1827), disebut hanya
dengan 'seorang Boston'.
2. Biografi Boniex Noerwega
M.Boniex
Norwega adalah seorang vokalis dari band For Revenge. Band ini mengusung genre
post-hardcore/ Emo. Dia juga seorang
jurnalis,.Teknik vocalnya yang sudah dikenal sejak kecil. Dia sering memenangi
kejuaraan vokal di tempat tinggalnya.
Teknik
vocal yang semakin matang ini ditemukan oleh Abie yang diam-diam mengagumi
Boniex. Entah bagaimana senangnya Abie saat Boniex setuju untuk bergabung
dengan For Revenge. Kepiawaian Boniex dalam membuat puisi dan akhirnya di
jadikan lagu ini sudah tidak diragukan lagi. Dia saat ini sedang studi di salah
satu perguruan tinggi terkemuka di Bandung. UNPAD, Jurusan Jurnalistik Fikom.
Sekarang,
Boniex telah menjelma menjadi seorang front man yang tak tergantikan
di For Revenge.Awal mula terbentuk band ini adalah pada bulan April 2006 dengan
mengusung genre post hardcore/modern rock/Emo sejak pertama terbentuk
sampai dengan sekarang telah silih berganti personil. Nama FOR REVENGE kala
itu bermakna akan pelampiasan amarah atas setiap masalah yg terjadi di
tiap kehidupan masing-masing personil, sehingga sampai sekarang pun telah
menjadikan banyak inspirasi dari lagu-lagu mereka. FOR REVENGE juga sempat di
riview beberapa Stasiun TV Lokal Bandung di antaranya PJTV dalam acara LOKAL
LEBEL, dan juga STV dalam acara Ziggy Wiggy, dan interview dengan koran Pikiran
Rakyat.
FOR
REVENGE telah lama malang melintang di kancah panggung PENSI dan GIGS
music indie sekitar Bandung, Panggung Jakarta, Bogor, Serang, Pandegelang,
Jogjakarta, dan Surabaya juga pernah dijajaki mereka dalam acara STONED COLLEGE
TOUR yg diadakan oleh radio streaming swasta Jakarta bersama LAST
CHILD, THE TREES AND THE WILD, dan HIDDEN MESSAGE. Band yang mengusung genre
post hardcore/emo bernama For Revenge ini, mengajari kita bahwa mengapresiasi
negara sendiri dapat dimulai dari hal yang kecil.
D.
Kesimpulan
Dalam
pembahasan ini teks dan konteks yang akan dianalisis adalah karya sastra puisi “alone” karya
Edgar Allan Poe dan puisi “sendiri” karya M.
Boniex Nurwega , di mana pada perbandingannya kedua
karya sastra itu memiliki persamaan yakni penggunaan bentuk akulirik pada
analisis secara struktural yang
sebelumnya
telah dibahas. Di dalam kedua
puisi tersebut mempunyai bentuk kesamaan yang saliung brerhubungan. Misalnya,
tema yang sama,isi, dan maknanya pun juga sama.
Produksi makna terjadi dalam interteks, yaitu
melalui proses oposisi, permutasi, dan transformasi. Penelitian dilakukan
dengan cara menemukan hubungan-hubungan bermakna di antara dua teks atau lebih, sehingag dapat
membandingkan makna dari dua teks tersebut. Prinsip intertekstualitas yang utama adalah prinsip memahami dan
memberikan makna karya yang bersangkutan, jadi pengarang pun
harus dapat memahami isi dan maknakarya-karyanya.
DAFTAR PUSTAKA
Guntur,
Tarigan Henry, 1985. Prinsip-Prinsip
Dasar Sastra. Bandung: PN.Angkasa
Jalil,
Danie Abdul.1985. Teori dan Periodesasi
Puisi Indonesia. Bandung: PN. Angkasa
Teeuw, A. 1984. Sastra dan
Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Bandung Pustaka Jaya